Jadi dokter, Bu guru.” Jawabku singkat.
“ Kenapa?”
“ Desy ingin menyembuhkan orang-orang yang sakit.”
Gludug.,.,
Terdengar suara petir memecah lamunanku. Panah-panah langit tak henti-hentinya menghunjam bumi beberapa hari ini setelah lama tak menghampiri.
“ Stop Des, jangan menyesal. Emang jadi dokter itu suatu kewajiban? Emang salah kalau kelak kau jadi seorang guru yang bisa mengubah negara ini ?” Berontak hatiku.
Sedikit acuh dengan suara hatiku, aku mengalihkan perhatian pada hujan yang mengguyur bui. Mungkin, hujan ini adalah jawaban atas doa orang-orang yang kekeringan dari Sang Pencipta. Hampir satu tahun kemarau panjang menyelimuti bumi Indonesia ini. Meskipun sudah tidak ada daerah yang kekeringan, tapi sekian banyak insan di Indonesia ini kering imannya. Ironis, negara yang memiliki penduduk islam melimpah tetapi tak sedikit yang lemah imannya, krisis moralnya. Kita dapat menyaksikan beberapa kasus karena lemah iman yang menghiasi layar televisi, seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, narkoba, penebangan liar, terorisme bahkan yang sekarang lagi tren yaitu korupsi.
Zaman globalisasi telah mencabik-cabik keadaan anak muda Indonesia saat ini. Sudah tidak ada sekat dan batasan lagi, bebas akan berbuat apa. Menjerit hati ini saat mata menyapu sekeliling lingkungan anak muda sekarang. Laki-laki dan perempuan semakin bebas berhubungan tanpa hijab, melakukan hal-hal yang belum seharusnya menjadi lumrah untuk remaja kota. Bahkan, karena kecanggihan teknologi, anak SD saja sudah berpacaran. Beberapa dari mereka lupa tugas utama untuk belajar, bermain play station menjadi makanan sehari-hari. Inilah, tugas seorang guru untuk mendidik moral remaja agar menjadi generasi cerdas hati dan otak. Terlebih lagi sikap mereka terhadap Al Quran. Aku melihat anak-anak di daerahku sudah tak tertarik lagi mengaji, apalagi menghafal ayat suci. Astagfirullah, aku harus bisa membuat orang-orang tertarik untuk mempelajari Al Quran.
Mengetahui itu, aku semakin yakin dan bersyukur karena Allah telah menempatkanku kuliah di keguruan. Memang, sejak SMA aku mulai menyadari keadaan negeri ini yang krisis akan moral dan perlu pembinaan secara intensif. Siapa lagi kalau bukan seorang pendidik yang bisa memberikan pendidikan karakter sejak usia dini. Menurutku bukan seorang dokter. Mungkin, bisa juga seorang dokter memberikannya kepada anak mereka sendiri dalam rumah tangga. Namun, menurutku banyak remaja yang harus dibina dan disentuh seorang pendidik. Itu salah satu dari beberapa alasan mengapa aku berpaling menjadi dokter, selain karena kehendak Sang Khaliq.
“ Nduk, sudah mantab kalau besuk tidak masuk di kedokteran tapi di keguruan?” Tanya Ibu di suatu hari.
“ Insyaallah Bu. Doakan saja semoga diberi yang terbaik.” Jawabku singkat.
“ Tenan lho? Sebenarnya Ibu ingin kamu jadi bu dokter.”
“ Tapi kalau jadi bu guru ibu ridho kan?”
“ Insyaallah.”
Senyum ibu mengembang mesti terlihat sedikit guratan sedih yang tertutupi wajay ayunya. Alhamdulilah aku memiliki kedua orang tua yang memberi kebebasanku untuk menerbangkan sayap dimanapun. Aku ingin kelak lulus S1 dalam kurun waktu empat tahun bisa menjadi seorang guru yang hafidzoh. Aku ingin pendidikan yang berbasis Al Quran, lalu menjadikan anak didikku juga senang berinteraksi dengan Al Quran. Seperti rasulullah dahulu, beliau tidak langsung memerintah ini dan itu tapi beliau memberikan contoh melalui cerminan perilaku yang sangat mulia. Sehingga banyak orang yang mencontohnya. Untuk mewujudkan impian itu, aku mulai dengan beberapa ayat perhari. Aku perhitungkan insyaallah bisa hafal dan paham selama empat tahun lebih beberapa bulan. Ditambah lagi lingkungan tempat tinggalku sekarang di lingkungan pesantren, yang lebih mudah berinteraksi dengan Al Quran. Aku harus rela berusaha keras menjadi seorang mahasiswi dan juga santri, karena itulah kebutuhanku untuk menggapai asaku.
“ Apa kamu ga bingung bagi waktu antara ngampus dan nyantri, Des?” Tanya teman sekelasku.
“ Insyaallah Allah memudahkan langkah ini jika kita berusaha bersungguh-sungguh. Selagi ada waktu menuntut ilmu, kenapa tidak.” Jawabku sopan.
Mereka berpikir bahwa sudah banyak tugas, laporan menumpuk, ujian-ujian, belum lagi keterlibatan dalam berorganisasi yang menguras keringat. Namun, aku meyakinkan mereka bahwa selama kita bisa membagi waktu, pasti Allah akan memudahkan. Teringat suatu kalimat man jadda wa jadda, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan yang diusahakan.
Walau bagaimanapun keadaan Indonesia saat ini, Indonesia adalah negara dimana aku dilahirkan. Menjadi tugas utama generasi muda pada umumnya untuk membangun negara ini maju dan tidak terbelakang. Melirik suatu kalimat yang pernah dicetuskan orang yang pernah terkenal, yaitu “ jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang bisa kau berikan pada negaramu”. Sontak, tersentil hati ini jika kalimat itu membayangi diri, serasa masih nihil dengan apa yang sudah aku lakukan untuk negara ini. Namun, aku tidak akan menyerah untuk mewujudkan impianku mengubah negara ini agar berkarakter dan maju. Menjadi guru bukan pilihan yang salah, justru yang paling sesuai untuk membangun jiwa-jiwa yang berkarakter mulia.
Berapa banyak guru yang masih hidup sekarang?
Itu satu kalimat yang terlontar dari seorang kaisar Jepang setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom. Beliau tidak bertanya tentang harta benda yang terselamatkan dan bangunan yang tidak hancur. Beliau berharap banyak guru yang masih hidup, karena melalui guru akan bisa terbangun peradaban lagi. Guru merupakan cikal bakal suatu peradaban, pikirku. Maka dari itu tekadku menjadi seorang guru yang hafidzoh kian membara. Aku juga akan melabuhkan studi lanjutanku ke Jepang, aku ingin mengetahui bagaimana guru-guru Jepang mendidik orang-orang disana sehingga sekarang Jepang menjadi salah satu negara maju yang disegani. Padahal kita tahu Indonesia dan Jepang sama-sama mulai membangun peradaban di waktu yang hampir sama. Waktu pengeboman tanggal enam dan sembilan, sedangkan Indonesia merdeka tanggal tujuh belas.
Bekal ke Jepangpun mulai ku kantongi dengan mempelajari bahasa Jepang. Meski tidak melalui bimbingan belajar manapun, aku yakin dengan berpedoman pada buku dan bertanya pada orang terdekat yang bisa bahasa Jepang, aku bisa mahir dan pastinya karena pertolongan Allah. Selain itu aku juga menyelipkan sedikit waktuku dalam sehari untuk mendalami bahasa Inggris dan Arab. Sedikit lama-lamaa menjadi bukit, meski sedikit kalau kontinu pasti bisa, aku yakin itu.
“Kelak aku akan menjadi seorang guru yang hafal quran, menjadikan murid-muridku berintelektual sesuai ajaran Al Quran”
Banyak sekali impian-impianku tertulis dalam sebuah proposal hidup yang aku ajukan kepada Allah untuk disetujui. Salah satunya aku ingin menjadi seorang pemulung kata yang senantiasa menggoreskan tinta emas untuk banyak orang. Karena itu, sejak SMA aku mulai menumpahkan karya-karya yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Meski dahulu belum berani menampilkannya di media masa, tapi aku sudah senang karena banyak yang menyukai tulisan-tulisanku saat mereka membacanya. Ku mulai juga dengan mengikuti sayembara-sayembara cerpen, artikel, essay dan LKTI. Suatu saat akan aku terbitkan suatu buku yang bisa mengispirasi banyak orang dan bisa membuat negeri ini lebih maju.
Desy Dwi Ratna Sari, itulah nama pemberian orang tuaku sejak 6 Desember 1994 sampai sekarang. Aku terlahir di sebuah desa di kecamatan Tulung, Klaten. Aku memiliki satu kakak dan satu adik, semuanya laki-laki. Sekarang ini aku menempuh perjalanan pendidikanku di suatu universitas negeri di Solo yang terkenal suasana hijaunya. Fakultas keguruan dan ilmu pengetahuanlah tempatku berlabuh saat ini. Alhamdulillah kuliah tanpa biaya karena dapat beasiswa. Inilah kesempatan yang diberikan Allah untukku, harus bisa memanfaatkan secara bijak. Aku akan mulai menulis serius di usiaku sekarang karena impianku ingin membuat karya yaitu buku karangan sendiri. Meski masih mahasiswa baru, aku mengikuti beberapa kegiatan-kegiatan mahasiswa untuk melatih soft skill ku.
Menjadi seorang guru yang hafidzoh, itulah impian seorang gadis berumur delapan belas tahun yang rindu akan surga dan akan terbukti kelak. Aku letakkan mimpi mulia itu di suatu ruangan khusus dalam memori otakku. Aku akan memperbaiki moral bangsa Indonesia yang sedang terjangkit rasa individualistis. Akan aku bangun semangat akan kehidupan setelah jasad tak bernyawa. Dengan begitu mereka akan lebih memanfaatkan waktu sebaik mungkin di dunia fana ini. Sehingga akan muncul sosok-sosok yang berkualitas baik.
No comments:
Post a Comment